FOLLOW ME
wHat is a NaMe?
Friday, December 17, 2010
Tuesday, November 16, 2010
RSBI PUNYA 12 TITIK LEMAH
Selain dari pemerintah, pelaksanaan program rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI) sebagai jembatan menuju SBI mendapatkan sorotan tajam dari
berbagai pihak. Terutama dari para pengamat pendidikan. Salah seorang yang
memberikan tanggapan pedas mengenai pelaksanaan program RSBI adalah Ketua Ikatan
Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma.
”Hentikan aja program itu. Nggak mungkin berhasil,” tegas Satria ketika
dihubungi Jawa Pos kemarin (18/7). Satria telah mengamati pelaksanaan program
RSBI sejak awal. Menurut hasil pengamatannya, ada 12 titik yang menjadi
kelemahan program yang sejatinya bertujuan membuat output pendidikan di
Indonesia berkualitas internasional tersebut.
Kelemahan pertama RSBI, menurut Satria, ada pada konsepnya yang lemah dan tidak
didahului riset yang mendalam. Satria menyoroti orientasi SBI = SNP + X, yang
menurut dirinya tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas (SNP = standar
nasional pendidikan). Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut
sebagai ”X”. Apakah itu standar pendidikan internasional seperti Cambridge
IGCSE, atau TOEFL/TOEIC, ataukah ISO. ”Dikdasmen sendiri tidak paham apa arti X
itu,” ucap Satria.
Model pengembangan RSBI yang dicanangkan pemerintah juga dinilai salah.
Dikdasmen membuat empat rumusan model pembinaan SBI, yakni model sekolah baru
(newly developed), model pengembangan pada sekolah yang telah ada (existing
school), model terpadu, dan model kemitraan. Padahal, sebenarnya hanya ada dua
model, yakni model sekolah baru dan model sekolah yang telah ada, sedangkan yang
lain hanya teknis pelaksanaannya.
Selama ini Dikdasmen melaksanakan model kedua. Padahal, buku panduan
penyelenggaraan RSBI mengacu pada model pertama. Artinya, model yang
dikembangkan sekarang tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi
sekolah SBI, yang model pengembangannya mengacu pada model pendirian sekolah
baru.
Kritik mendasar lain ditujukan pada penggunaan bahasa Inggris di RSBI. Menurut
Satria, ada kesalahan asumsi bahwa di SBI itu kegiatan belajar mengajar
(KBM)-nya harus dilakukan dalam bahasa Inggris, dengan media pendidikan canggih,
seperti laptop dan LCD. Padahal, di negara-negara maju, seperti Jepang, Prancis,
dan Jerman, tidak perlu mengajarkan materi dalam bahasa Inggris untuk mencapai
standar internasional. ”Kurikulumnya yang harus internasional atau tidak di
bawah kualitas kurikulum negara yang sudah maju. Pendidikan itu juga bukan
masalah alat, tapi proses,” tuturnya.
Konsep RSBI juga dinilai berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL.
Pengajar hard science (matematika dan IPA) harus memiliki TOEFL lebih dari 500.
Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard
science dalam bahasa Inggris.
”Jadi, keliru kalau mengukur keberhasilan pengajaran hard science bertaraf
internasional dengan TOEFL. Yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah
performance-nya. Bukan TOEFL yang lebih cenderung mengukur kompetensi
seseorang,” tegas Satria.
Penggunaan bahasa Inggris dalam penyampaian materi matematika dan IPA dinilai
akan menghambat pemahaman materi oleh siswa. Sebab, masyarakat Indonesia umumnya
tidak fasih berbahasa Inggris. Maka, ketika pelajaran diberikan dalam bahasa
Inggris, otomatis siswa butuh waktu lebih lama untuk menguasai sehingga malah
mengacaukan KBM.
Peluang guru-guru RSBI dalam menguasai pemberian materi dalam bahasa Inggris
juga disorot Satria. Menurut dia, hampir mustahil membuat guru-guru, yang pada
kenyataannya di daerah-daerah pun belum mampu menggunakan bahasa Indonesia
dengan fasih untuk mengajar, mengajar dalam bahasa Inggris. Apalagi untuk
memperoleh nilai TOEFL lebih dari 500, seperti yang ada dalam panduan
penyelenggaraan RSBI.
Berbagai hal yang menjadi panduan penyelenggaraan RSBI juga membuat
penyelenggara melakukan berbagai ”kesalahan” lain. Terutama adanya anggapan
bahwa RSBI hanya untuk siswa yang cerdas. Buktinya, untuk masuk RSBI, siswa
harus mengikuti tes tertentu. Padahal, seharusnya RSBI terbuka untuk siswa
dengan tingkat kecerdasan rata-rata sampai yang cerdas. Bukan hanya untuk siswa
yang menonjol secara intelektual.
Media pendidikan yang canggih di RSBI membuat sekolah harus mengeluarkan biaya
operasional yang lebih besar sehingga memberikan legitimasi bagi sekolah untuk
melakukan komersialisasi pendidikan. Akibat tingginya cost itu, biaya pendidikan
di RSBI pun lebih mahal daripada di sekolah reguler.
Fasilitas dan sejumlah requirement untuk siswa RSBI itu juga menciptakan
berbagai stigma di masyarakat. RSBI menciptakan eksklusivitas dan kastanisasi
karena hanya bisa dimasuki anak-anak pintar dan dari kalangan menengah ke atas
atau yang mampu membayar biaya pendidikan lebih tinggi.
Kacaunya lagi, program tersebut juga telah memberikan persepsi yang keliru
kepada orang tua, siswa, dan masyarakat. Yakni, masuk RSBI memberikan kebanggaan
dan gengsi, maka orang tua rela melakukan apa saja agar anaknya masuk RSBI.
Padahal, mereka belum tentu punya biaya untuk mengambil sertifikasi luar negeri
atau mengirim anaknya sekolah ke luar negeri. ”Orang tua hanya membeli label
internasionalnya itu. Mereka tidak tahu isinya sebenarnya apa,” cetus Satria.
Selain itu, dia mengajak untuk berkaca pada kegagalan Malaysia melakukan program
internasional sejenis yang disebut pembelajaran sains dan matematik dalam bahasa
Inggeris (PPSMI). Sejak 2003 sekolah-sekolah di Malaysia melakukan pengajaran
sains dan matematika dengan bahasa pengantar bahasa Inggris.
Hasilnya, yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah
berasrama di kota. Untuk sekolah lain, terjadi degradasi mutu. Karena itu,
program tersebut akan dicabut pada 2012. ”Padahal, Malaysia bekas jajahan
Inggris dan bahasa Inggris menjadi bahasa kedua di sana. Bayangkan apa yang
terjadi dengan Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya tidak fasih
berbahasa Inggris?” katanya.
Karena faktor-faktor itulah, Satria berani mengatakan bahwa program RSBI tidak
akan berhasil diberlakukan di Indonesia. Lantas, apa yang harus dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan? Jawabannya ialah meningkatkan
kualitas guru dan fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah secara merata. ”Hanya
dengan melakukan itu saja, kualitas pendidikan kita sudah bisa meningkat pesat,” tandasnya.
source:http://groups.yahoo.com/group/dikmenjur/message/78823
Subscribe to:
Posts (Atom)